Benarkah kau pemuisi, Liy?

Kerana aku merasakan kata-katamu tak tergema mencari makna dan ruang yang tersendiri untuk menyentuh hati. Aku merasakan kata-katamu seperti bola yang tersimpan dalam laci, tersorok di ruang yang mana satu dalam celahan almari.

" Luahkan," kataku kepadamu.

" Benci mana, kata carutan dan makian mana yang tersimpan di dasar hati, luahkan!" jeritku.

Dan kau tersengguk-sengguk menahan tangisan. Lili dan mawar di tangan, bunga Siti Zubaidah gugur satu-persatu, mati dan kehausan. Air matamu yang masin tak mungkin jadi penghidrasi, menghidupkan yang telah mati. Tanganmu meringkuk, kakimu terpeluk, jemarimu mengerengkot. Tubuh. Tubuh mati. Hati terhenti. Jantung patah dan terjatuh, berkecai dan terdenyut dalam usaha yang takkan mungkin terhasil.

" Aku takkan mampu. aku takkan mampu," katamu. " Dalam kata-kataku terlampau banyak kebencian yang pengakibatnya adalah kesakitan, yang akhirnya mematikan,"

Kata-kata bukan sekadar emosi, kata-kata adalah baja yang menyuburkan hati ataupun racun yang bisa saja menggoncang hati, sampai tersedak lalu mati.

0 Comments