" You dah tak suka rose tea?"

Aku tersentak dengan soalannya. Mataku mencerlung ke arah matanya yang redup menunduk. Jemarinya yang kurus panjang tak pula duduk diam. Asyik mengocak flat white di depannya dengan sudu perak.

Aku mencicip teh mawar di hadapanku. Sedikit demi sedikit. 

Tak bergula. Sepertimana yang aku suka.

Aku melepaskan nafas panjang, konon-konon menikmati tenangnya teh mawar dengan aromanya yang tersendiri. Sedangkan ada taufan dalam hatiku ini yang tak mampu reda selagi pria ini masih di hadapanku. Dengan matanya yang menunduk tapi aku tahu sepenuh perhatiannya tetap kepadaku.

" Liy," 

Pandangku yang mulanya tertancap pada permukaan teh mawar yang pucat cair, beralih pada wajahnya yang menuntut jawapan. Jawapan kepada entah apa, aku sendiri tak mengerti. Bibirku masih terkunci. Sekadar menanti bicaranya yang seterusnya.

" How are you? You terlampau senyap hari ni. Dan orang kata, nak tahu berkocaknya perasaan, perlu dilihat pada tenangnya air di permukaan," 

Ah, jejaka ini terlampau teliti. 

Aku menguntum senyum kecil sambil menggeleng kepala dengan bersungguh. 

" Ili Liyana yang peramah, friendly, boleh senyap macam ni. I rasa ada yang tak kena pulak hari ni. Hmm," ujarnya dengan kerutan di dahi. Bibirnya mengorak bunga. Manis. 

Aku masih bisu, dengan senyum kelat di bibir. Ah, Arif Khairi, janganlah menduga lagi air yang tenang ini. Tolong. Aku tak mampu lagi menyimpan apa yang terkocak hebat dalam perasaanku. 

Arif Khairi menarik nafas panjang. Bibirnya mengucup hujung cawan berisi flat white. Berdikit-dikit. Namun matanya masih pada mataku. 

Cawan berisi flat white diletakkan kembali pada piring, kemudian kepalanya ditundukkan, Aku menjeling dari hujung mataku yang masih tertancap pada permukaan teh mawar yang pucat cair. Tenang.

" Because I asked for the coffee date, I'll start then. You look pretty with that scarf on your head, and I like you looking like this. I feel calm looking at you," Arif Khairi memulakan bicara. Aku memintal hujung tudungku. Memang selalu aku mendengarkan pujian yang begitu dari teman-teman perempuanku. Sarah, Nadiah, sedangkan Iman sendiri seringkali memuji. Tapi menerima pujian dari Arif Khairi, membuatkan darahku menyerbu terus ke pipi. 

" And you look pretty, when you blush too," Arif Khairi menyambung, dalam bisikan yang jelas di pendengaranku, Arif Khairi menundukkan pandangan sebentar sebelum memandangku sekilas. 

Aku pura-pura ketawa kecil. Ah, Ili Liyana memang tak tahu bagaimana untuk menerima pujian.

" But you look distressed whenever Luke is around. Or whenever someone talks about Marissa and Luke. Or whenever you're alone just looking, staring into the thin air. So I'm here, asking for this coffee date, because I know how much you enjoy coffee dates and because I want to ask this, are you okay, Liy?" Arif Khairi memandangku, terus. Tak berjeda. 

Ah, Arif Khairi, benarkah kita mahu berbicara tentang soal ini? Benarkah aku mahu berbicara tentang soal ini? Hatiku sakit. sakit mendengarkan betapa aku tak mampu menutup perasaanku rapat-rapat. Aku tak mampu menapis biar cuma bahagia yang terpancar di mata. 

Bibirku terketar. Kemudian, perlahan-lahan aku mengorak senyum. Paksa.

" You tahu lagu Marit Larsen, I Don't Wanna Talk About It?" ujarku dalam pertanyaan yang memprovok cita rasa muzik Arif Khairi. Arif Khairi tersengih, sebelum mencicip lagi flat white dari cawan. 

" You know I don't listen to new songs. I'm an old soul," bicara Arif Khairi dengan senyum yang masih mekar di bibirnya, menantikan provokasi aku yang seterusnya. Seringkali aku memprovok citarasa muziknya yang tak pernah berubah. Tetap dengan senarai lagunya yang tak pernah berganjak dari dulu. Tak langsung memberi peluang untuk lagu baru menyelinap dan mencuri hatinya yang konon akan menyetia sampai mati.

Arif Khairi merupakan seorang yang takutkan perubahan. 

Aku mengalih perhatian pada teh mawarku, mencicip teh mawar yang kian mendingin. Tak lagi nikmat seperti tadi. Ah, nikmat yang bagaimana pun takkan terasa kalau ribut di hati tak mahu mereda sedari tadi.

Perlahan-lahan aku menyusun kata.

" Sometimes, being an old soul doesn't mean you should be static in your own place, Arif. You should go and see something new as well, seek out for other options, and come back to where you were, to see which one is the best, for now," 

" Kita dah tak bercakap pasal citarasa muzik I lagi kan? And right now, the focus should be on you, Ili Liyana," pandai Arif Khairi memulangkan arah perbualan kepadaku. Aku tersenyum paksa. 

Ah, payahnya berbicara dengan Arif Khairi yang teliti ini.

" Yup, we are talking about me now. I tak patut statik pada tempat I, apalagi kalau tempat tu cuma anganan yang tak pernah ada. I yang bina istana, dalam awangan, tapi lupa betapa istana tu, takkan terbina tanpa izin Tuhan. Habis setakat itu," aku cuba meletakkan noktah pada topik 'aku' ini. Arif Khairi tahu apa yang berlaku, cukup teliti untuk berbicara tentang 'aku'.

" Are you seeking out for other options, Ili Liyana?"

Tak berjaya, nampaknya. Perbincangan masih lagi berjalan. Ah, Arif Khairi. Memang begitu.

" I'm taking my own sweet time. I would like to go for the term serendipity in this. To let things fall naturally. And I'm...," aku menghela nafas sebelum menyambung, " fine,".

Atau sekurang-kurangnya, aku akan okey, Arif Khairi, bisik hatiku.

Arif Khairi tersenyum. 

" Isn't this serendipity enough for you?"

Dan mataku membulat, tersentak dengan soalannya yang aku rasakan ada maksud tersirat.

0 Comments