Masih adakah kau untukku setelah tiga puluh enam purnama? Wajarkah aku letakkan sayang pada namamu? Sedangkan yang ada pada kita cumalah ketiadaan. Keberadaan yang terasingkan, yang tak terlihatkan.

Wajarkah aku letakkan sayang pada namamu, sedangkan hatiku sudah pandai-pandai mengait permaidani yang penuh dengan cinta menyelimuti kalbuku yang makin lama makin panas dengan ketiadaan. Halimunan.

Jejaka berkulit hitam manis yang mengadun hatiku penuh sakit, dengarlah.

Kalau bisa kaudengar di sebalik kesakitan yang ada di kalbumu itu sendiri.

Ku mengharapkan senyum di bibirmu, di matamu, di hatimu. Itu pada detik pertama. Tanpa lelah, aku tepikan detik waktu sekadar untuk mencari logik dan rasional dari setiap persoalanmu. Kalau-kalau ada satu dua senyum yang masih bisa kau hadiahkan buat yang ada di sekelilingmu.

Cuma itu.

Itulah yang ada pada detik pertama.

Hanya itu.

Dan yang lainnya, masa lebih tahu apa yang terjadi. Tuhan lebih tahu apa yang terlakar.

Dan kita takkan pernah tahu bila dan bagaimana.

Jadi Jejaka,

Kalau akhirnya bibirku melafazkan akad dan janji untuk bersama dengan yang lain, aku masih mengharapkan yang paling manis dan cantik buatmu.

Dan aku mengharapkan manisnya aku bisa rasa jua.

0 Comments