Indecisive

Kalau ditolak, wajarkah aku ambil langkah ke belakang?

Bukan untuk putus asa terhadap engkau.

Tidak.

Tapi untuk beri ruang. 

Kita bukannya anak-anak kecil lagi. Kita mampu buat keputusan sendiri. Dan, kalau keputusan itu salah, tak mengapa. Belajar dari sakit yang ada. 

Kita bukan malaikat untuk sentiasa betul dan tak mungkin berdosa.  Kita manusia biasa yang perlu ada elemen taubat dalam hati. Menyendiri untuk bermuhasabah tentang cinta dan benci.

Tapi, keputusan itu juga sepatutnya bersandarkan manual kehidupan. Bukannya tak ada. Yang berdiri di rak buku kamu, berbaring di atas meja tulis aku itu. Iya, yang itu. Bukan hanya untuk dibaca, sayang.

Jadi beritahu aku yang keliru. Manual sudah ada. Kau pasti menyelaknya. Aku... percaya.

" Kau perlu decisive,"
" Kau seharusnya lebih aktif mencatur masa depan kau,"
" Kebijaksanaan itu datangnya dari memutuskan,"

Entah wajarkah aku humbankan kata-kata menekan itu kepada kau? Tidak. Entahlah. Dengan kau, aku perlu menari menghadap takdir aku. Penuh lembut, membuka langkah dengan gemalai, tapi tegas, menyatakan pendirian.

Jadi kali ini, beritahu aku.

Kalau kau menolak, wajarkah aku ambil langkah ke belakang?